Di era modern ini, saya
merasa bahwa kadang ada beberapa hal yang sebenarnya tidak terlalu penting,
namun menurut orang lain urgent/penting
untuk dilakukan. Tingkat
kehidupan orang zaman
sekarang bisa dikatakan cukup tinggi dibandingkan jaman dahulu, apalagi seiring
dengan berkembangnya teknologi. Zaman
dahulu mungkin dalam satu keluarga hanya punya 1 telepon yang digunakan bersama atau bahkan
tidak mempunyai telepon sama sekali, namun masih bisa
berkomunikasi dengan kerabat jauh dengan surat yang entah kapan akan tiba ke
tempat tujuan. Orang pada saat itu sudah terbiasa akan hal seperti itu,
sehingga jika pun tidak mendapat balasan yang cepat sudah menjadi kewajaran dan
tetap tenang-tenang
saja. Lain halnya dengan zaman
sekarang yang setiap orang pasti memiliki alat komunikasi pribadi seperti handphone (HP).
Satu menit saja tidak ada sinyal, masalah besar! Orang-orang pasti panik, sibuk
minjam HP orang lain, tethering, dsb.
Padahal mungkin sebenarnya dia tidak ada urgensi yang harus ditangani sehingga
harus saat itu juga membuka HP. Kadang tidak membuka
update story teman beberapa jam saja
sudah merasa seperti tidak ada kehidupan.
Saya termasuk orang
yang jarang memperbarui status di media sosial yang saya miliki, entah itu
Instagram, LINE, dll. Kalaupun saya mengunggah sesuatu, biasanya gambar yang saya post adalah foto yang sudah lama atau sudah terjadi beberapa hari sebelumnya, bukan tepat saat saya sedang melakukan aktivitas tersebut. Saya pun
juga
lebih suka to the point ketika
berbicara dalam ruang obrolan pribadi dengan teman maupun keluarga. Saya
beberapa kali ditanya "Mel,
kok ga pernah update story sih?"
atau "Mel,
kamu kok ga ikut pergi/main sih kemarin bareng yang lain?" dan bahkan yang menurut saya
ekstrim yaitu "Mel,
kamu nge – hide
aku
dr story kamu ya jangan – jangan!".
Mungkin beberapa orang menganggap saya anti sosial, tidak mampu berkomunikasi
dengan baik, terlalu serius, dsb. Sebenarnya saya merasa bahwa tingkat urgensi
untuk meng – update kehidupan personal saya dalam lingkup media
sosial itu tidak terlalu penting. Saya berkeinginan melindungi hal personal
saya yang tidak perlu diumbar ke ruang publik. Ketika saya berkumpul dengan
teman ataupun keluarga, saya sering mengambil foto kebersamaan yang kita
lakukan, namun saya tidak banyak mengunggah itu ke media sosial. Padahal sebenarnya mungkin kalau
orang-orang melihat isi hard disk
saya, pasti akan shock melihat
banyaknya jumlah foto dan video yang saya miliki dari yang penting sampai yang
gak penting – penting amat,
dari yang kualitas tinggi sampai yang hampir seluruhnya blur.
Ketika saya tidak mengunggah itu ke media sosial, tentu tidak bisa
dijustifikasi bahwa kehidupan saya tidak bahagia, kurang main, dsb. Saya merasa
bahwa momen terbaik saya adalah ketika saya benar – benar berinteraksi dengan
orang yang saya temui saat itu hingga saya sendiri tidak ada kesempatan untuk asik
memegang gadget untuk sekadar
mengunggah kebersamaan dengan orang tersebut.
Kualitas lebih dari
kuantitas. Seberapa banyak apapun jumlah story
dan posting yang diunggah ke dalam media sosial tidak
menjamin bahwa semua momen tersebut benar – benar membahagiakan orang yang mengunggahnya.
Kadangkala, disadari atau tidak, orang merasa mengunggah sesuatu ke media
sosial hanya untuk menunjukkan dia "baik-baik" saja padahal banyak
masalah yang sedang dihadapi, menunjukkan hidupnya rame dan seru padahal
hatinya terdapat kekosongan, merasa sangat superior ketika kegiatannya terlihat
padat padahal dia tidak benar – benar menjalani kegiatan tersebut dengan
sepenuh hati. Unggahan tersebut hanya sebatas tuntutan yang sebenarnya semu. Jujur saja saya sering merasa
sangat kesal ketika bertemu dengan teman, namun semua asik pegang gadget
masing-masing.
Ujung – ujungnya terjadi dry conversation karena tidak ada topik yang
berujung ke pembicaraan panjang dan berisi. Yang penting sudah mengambil foto,
CEKREK! UPLOAD, lalu semua asik dengan HP
masing-masing.
Lalu apakah dengan
banyak unggahan ke media sosial itu salah? Tentu tidak! Ada beberapa orang teman saya yang
suka membagikan curhat dalam hidupnya dan media sosial menjadi sarana baginya
untuk menyalurkan kesenangannya tersebut. Ada juga yang menjadikan media sosial sebagai lahan
usahanya sehingga dia harus keep everything
updated supaya jangan sampai dilupakan orang. Semua kembali lagi ke
pilihan masing-masing. Menyebarkan pesan positif dan cerita yang menggugah semangat, menyampaikan rasa sayang terhadap orang-orang terdekat, memberikan motivasi atau bahkan menjadi sosok role model yang memberi inspirasi melalui konten media sosial merupakan cara-cara pemanfaatan sosial media secara bijak, yang saya sendiri berharap suatu saat bisa membangun media sosial saya untuk hal-hal tersebut.
Saya senang ketika
bertemu dengan orang baru. Biasanya ada banyak hal yang bisa didiskusikan untuk
saling mengenal satu sama lain. Saya punya pengalaman yang berkesan dimana pada
waktu itu saya dikenalkan dengan seseorang ketika saya sedang magang di Kalimantan. Waktu itu
saya panik karena saya pergi berdua saja dengan orang yang sama sekali tidak
saya kenal sebelumnya. Saya kuatir bahwa saya akan kesulitan untuk
berkomunikasi dengannya karena saya bukan tipe orang yang suka basa-basi
sehingga takut jika saya tidak ada bahan/topik pembicaraan nantinya. Surprisingly, ternyata malam yang saya
takutkan itu ternyata jadi malam yang asik dan seru! Kita bicara tentang banyak
hal, bukan saja tentang kehidupan masing-masing namun juga tentang hal-hal out of the box seperti tentang tingkat
kriminalitas di Kota B, prostitusi di Kota B, tentang kisah – kisah di tempat - tempat yang kita lewati malam itu. Malam
itu untuk pertama kalinya saya bertemu dengan orang yang menghargai makna dari
suatu pertemuan. Kita
adalah orang yang berbeda frekuensi dan saya rasa juga punya perbedaan mengenai
something that we passionate about, namun
malam itu kita bisa get along through the
conversation!
Setiap pertemuan dengan
siapa saja akan menjadi berarti jika kita sungguh – sungguh memaknainya.
Terlepas dari kebutuhan akan konten di sosial media, sesungguhnya penting bagi
kita untuk menghargai keberadaan orang yang bersama kita dan benar – benar masuk
dalam komunikasi diantaranya. Sejak hari dimana saya kira saya akan “basa –
basi” sepanjang malam but turns out that
I’m wrong, saya jadi selalu menganggap lawan bicara saya seperti “orang
baru” yang harus kita kenali lebih dalam dan kita dengarkan. Barangkali jika
hal sederhana seperti ini bisa kita lakukan dengan baik, maka akan mengurangi
kebutuhan kita untuk exist di sosial
media. Pada akhirnya menjadi “exist” diantara
orang – orang di dunia nyata jauh lebih membahagiakan.
0 comments:
Post a Comment