Hari Minggu 16
September 2019 adalah satu hari dalam hidup yang tidak pernah akan saya
lupakan. Hari ini saya untuk pertama kalinya melakukan perjalanan antar kota
menggunakan transportasi umum bus sendirian. Perjalanan dimulai dari Terminal
Terboyo Semarang menuju Terminal Rembang. Meskipun sudah biasa melakukan
perjalanan rute ini menggunakan mobil, travel, bahkan bis dengan teman-teman,
namun perasaan deg-degan tetap muncul karena kali ini harus sendirian. Namun,
saya memberanikan diri karena teman-teman saya yang juga dari Semarang lebih
memilih untuk pulang malam hari, sementara saya lebih memilih perjalanan siang
supaya bisa sampai di tujuan lebih cepat dan masih banyak waktu untuk
beristirahat mengingat Senin harus mulai kerja kembali.
Sekitar setengah jam
awal semua baik-baik saja. Walaupun saya mendapat bus yang tidak ada air conditioner, ada pengamen lalu
lalang, dan suasana berisik, namun saya pernah mengalami perjalanan lebih buruk
daripada ini sehingga saya merasa biasa saja. Saya duduk di area tengah bus. Di
sisi kiri bus, deretan kursi masing-masing terdiri dari 2 kursi sedangkan di
sisi kanan bus, deretan kursi masing-masing terdiri dari 3 kursi. Saya sengaja
duduk di sisi kiri bus yang masing-masing terdiri dari 2 kursi supaya sebisa
mungkin tidak ada yang duduk di sebelah saya karena saya khawatir jika mendapat
teman perjalanan yang membuat saya tidak nyaman.
Ketika memasuki daerah
Demak, ada seorang pengamen perempuan yang masuk dari pintu depan bus dan
melewati kursi yang saya duduki. Tak lama kemudian, dia kembali ke arah kursi
di serong kanan saya (sisi kanan bus) dan mengambil uang sebesar Rp 5.000,00
yang jatuh dibawah kursi tersebut. Kursi di serong kanan saya tersebut diduduki
oleh seorang ibu dan anak laki-lakinya yang masih kecil. Saya berpikiran
positif bahwa uang tersebut merupakan milik pengamen tersebut yang jatuh saat
dia melewati kursi saya. Kemudian pengamen tersebut membawakan lagu dangdut
yang mengiringi perjalanan ini. Beberapa selang waktu kemudian, saya kaget
karena ibu di serong kanan tadi tampak memarahi anaknya. Saya mengira bahwa
anak tersebut mabuk hingga muntah karena terlihat mereka menengok ke kolong
kursi yang diduduki sambil membuka barang-barang bawaan mereka seperti mencari
sesuatu. Saat itu saya masih diam saja karena saya belum memahami situasi yang
terjadi dengan baik.
Kemudian saya melihat
bahwa ibu yang duduk di serong kanan saya itu seperti kebingungan dan merogoh
saku celananya dan terlihat menggenggam uang senilai Rp 10.000,00 nya sambil
menengok ke kanan kiri dan ke bawah kursinya. Ia juga tampak memeriksa tiap
kantong tas yang dipangkunya. Saya masih mengamati apa yang dilakukan oleh ibu
tersebut sambil mempelajari masalah yang ada. Saya sungguh terkejut ketika sang
ibu mulai memukul punggung anaknya dan marah-marah dengan nada yang sangat
keras hingga banyak orang memperhatikan mereka. Saya pikir kenapa ibu tersebut
harus semarah itu kepada anaknya yang muntah.
Ternyata dugaan saya
salah. Saya susah payah menahan tangis ketika anaknya berkata “sumpah bu, saya
ga ambil uangnya” dalam bahasa Jawa yang sedikit banyak saya mengerti. Ya, ternyata
ibu tersebut kehilangan uang Rp 5.000,00 yang tadi diambil oleh pengamen yang
seakan tak peduli dengan nasib anak yang nangis sambil meminta maaf ke ibunya. Yang
ada di pikiran saya waktu itu adalah semarah-marahnya orang tua saya, mereka
tidak pernah memukul saya sekalipun kesalahan saya sangat fatal dan tidak
pernah sekalipun orang tua saya memarahi saya hanya karena masalah uang.
Saya menunggu hingga
pengamen tersebut selesai menyanyi. Pikir saya mungkin nanti pengamen tersebut
akan mengembalikannya karena tentu pasti tidak akan setega itu terhadap anak
yang menangis tanpa henti, apalagi pengamen ini juga seorang perempuan.
Ternyata sampai akhir pengamen itu selesai menarik uang dari penumpang, dia tak
kunjung mengembalikan uang ke ibu tadi.
Saya mungkin
satu-satunya penumpang yang mengamati kejadian dari awal hingga akhir. Disitu
saya mengalami perang batin yang luar biasa. Saya sangat ingin membantu dengan
memberitahu si pengamen untuk mengembalikan uang itu. Namun yang saya tahu
bahwa pengamen-pengamen di bus seperti ini sangat keras dan karena waktu itu
saya sendirian sepanjang perjalanan, saya takut jika saya menegur pengamen
tersebut, maka ia akan menyerang saya nantinya di perjalanan ini. Saya memahami
bahwa bagi si pengamen maupun sang ibu, uang Rp 5.000,00 tersebut sangat
berarti bagi mereka, melihat bahwa si pengamen bisa merendahkan dirinya dengan
mengambil uang yang bukan miliknya dan melihat sang ibu setega itu memukul
anaknya hanya karena uang. Sampai detik saya menulis tulisan ini, saya sangat
menyesal karena tidak melakukan sesuatu untuk anak tersebut yang tentu sudah di
cap “anak nakal” oleh ibunya. Kalau saja saya dapat memutar waktu ke kejadian
tersebut, saya berharap saya bisa lebih bijaksana dalam menentukan sikap. Saya jujur
masih bingung tentang apa yang akan saya lakukan jika mengalami kejadian serupa
lagi, namun yang pasti seharusnya setidaknya saya menanyakan langsung ke sang
ibu yang kehilangan uangnya mengenai kejadian yang sesungguhnya.
Saya tidak pernah
membayangkan bahwa perjalanan solo pertama saya akan seperti ini. Perjalanan yang
memberikan penyesalan mendalam terhadap diri saya namun juga menjadi
pembelajaran berharga bahwa menaklukkan rasa takut adalah awal dari
kebijaksanaan.
0 comments:
Post a Comment